Friday, July 23, 2010

Sumimasen - Inspirasi

Suatu hari seorang nenek berjalan terseok-seok di jalan trotoar yang
sempit. Nenek itu menengok ke sebuah toko di sebelah kanan jalan sambil mendorong kereta belanjaan yang telah dipenuhi isi. Entah dia sadari atau tidak, tiba-tiba seorang pemuda sedang berusaha melewatinya. Tapi karena sempitnya trotoar, ditambah lagi dengan kereta dorongnya yang berada di tengah-tengah, membuat pemuda itu kesulitan untuk mendahului.

Aku yang melihat pemandangan itu jadi berpikir apa yang akan dilakukan
pemuda itu. "Pemuda itu akan membunyikan bel sepedanya dan melewati
nenek itu," tebakku. Kenyataan ternyata tidak seperti yang kubayangkan.
Dengan pelan-pelan pemuda itu tetap berada di belakang si Nenek dan
tidak membunyikan bel sepedanya. Sampai akhirnya si Nenek menyadari ada seseorang di belakangnya dan dia telah menghambat jalan orang lain.
Dengan membungkukkan badannya berkali-kali sambil meminta maaf
(kebiasaan yang sering kulihat pada orang Jepang), dia menepi dan
memberi jalan untuk pemuda itu. Dan berlalulah pemuda itu dengan
anggukan balasan tanpa kudengar suara omelannya.

Pernah pula saya dan beberapa teman berjalan di trotoar yang lebarnya
mungkin hanya 2 meteran, tetapi kami berjalan berjejer sambil mengobrol.
Seakan-akan itu jalan milik kami dan tidak ada orang lain yang akan
menggunakannya. Atau karena kami tidak mempunyai pikiran untuk berjalan agak ke pinggir dan membaginya untuk orang lain, walaupun saat itu tak ada orang yang lewat.

Entahlah, mungkin saat itu di kepala kami tak ada pikiran seperti itu
karena asyik mengobrol? Tiba-tiba ada orang berkata,
"Sumimasen.sumimase n..." Seseorang meminta maaf (permisi) untuk dapat
melanjutkan perjalanannya yang terhalang oleh kami. Atau kekhawatiran
menabrak salah seorang anak-anak kami yang berkeliaran dengan bebasnya.
Tetapi orang itu bukan yang terakhir, masih ada yang merasa tidak enak
untuk meminta jalan kepada kami.

Padahal mereka mempunyai hak yang sama atas jalan trotoar itu. Sama
halnya dengan kami."Ah... sumimasen, gomen nasai...," kataku meminta
maaf sambil menarik tangan anakku untuk menepi dan memberi jalan kepada orang yang sempat turun dari sepedanya. Dia berlalu sambil menganggukkan kepalanya disertai senyuman di bibirnya. "Duh...kok dia nggak marah, ya?" batinku. Padahal biasanya orang marah-marah kalau jalannya terhalang, dan dari jauh sudah membunyikan bel sepedanya
nyaring-nyaring. Kadangkala malah keluar kata-kata umpatan yang tidak
sedap didengar.

***
Di sekitar tempat tinggalku ini jarang sekali kudengar suara klakson
mobil ataupun bel sepeda berdering-dering. Kenapa ya? Apakah mereka
sudah sampai pada tahap yang namanya manusia beradab? Atau karena begitu patuhnya pada peraturan? Atau tenggang rasa pada sesama sudah mengakar dalam kehidupan mereka? Atau mereka tidak sudi dianggap orang bodoh karena membunyikan klakson atau bel? Orang Jepang terkenal sangat patuh pada peraturan. Itukah jawabannya?

"Eh, kenapa ya orang-orang ngga ada yang bunyiin klakson?" tanyaku pada suami, yang kebetulan orang Jepang. "Ngapain bunyiin klakson? Kayak orang bodoh aja? Nanti juga kan dapat gilirannya kalau mau jalan?"
suamiku malah balik bertanya. Memang kulihat lalu lintas di Jepang
teratur, yang jalan lurus sudah ancang-ancang dari jauh memilih jalur
lurus, begitu juga yang ingin belok mengambil jalur sisi jalan agar tak menghalangi mobil yang akan jalan lurus. Mobil yang akan belok kanan akan mendahulukan pengendara yang berlawanan arah, baik itu yang jalan lurus ataupun yang belok kiri.

***
Kemarin sewaktu aku dan teman-temanku ketinggalan bis, kami duduk di
sembarang bangku yang berjejer di halte itu. Masih ada waktu 10 menit
lagi untuk keberangkatan bis berikutnya. Kami ngobrol sana sini, hingga tak terasa sudah banyak orang yang mulai berdatangan. Mereka hanya melihat sekilas kepada kami dan tetap berdiri, padahal masih banyak bangku yang kosong. Karena yang duduk hanya aku dan anaknya temanku.
Sedangkan temanku berjongkok menghadap anaknya dan satu temanku lagi
berdiri di belakang kami.

"Heh...! Kok ada perasaan tak enak ya?" batinku ketika aku melihat
seorang nenek berdiri tak jauh dari kami. Tentu saja nenek itu dan
orang-orang yang ada di situ tak bisa maju karena biarpun di depan kami masih kosong, tetapi karena kami yang ada di sana lebih dulu, maka mereka akan berada di belakang kami.

Segera aku mengajak teman-temanku maju ke depan mendekati tempat naiknya bis. Barulah nenek itu dan yang lainnya ikut maju dan duduk di bangku yang tadi kami duduki. Aku menganggukkan kepala dan meminta maaf,
"Sumimasen.. ." Nenek itu hanya tersenyum sambil mengangguk.

Tak ada kesan marah atau sinis. Anggukan kepala dan senyum, tanpa ada
kata-kata umpatan atau omelan malah membuat kita malu sendiri dan sadar telah berlaku ceroboh. Nenek tersebut seolah berusaha memahami kami.

Dari beberapa contoh di atas, aku merasa ada sebuah kekaguman pada orang Jepang. Mereka yang terkenal dengan sifat individunya, ternyata masih bisa berusaha memahami perasaan orang lain. Dengan caranya, mereka akan tersenyum sambil menganggukkan kepala. Seolah memberi tanda bahwa tak ada hal yang perlu dirisaukan oleh si pihak lawan akan sikap salahnya.
Sesuatu yang kadang masih sulit aku terapkan. Yaitu berusaha memahami
perasaan orang lain.

Karena dari rasa saling memahami inilah akan timbul keinginan saling bekerjasama. Yang kemudian akan berlanjut menjadi mendahulukan kepentingan orang lain, tingkatan yang tertinggi dalam jalinan ukhuwah. Hingga terjalin
rasa saling cinta kasih.

Entah cerita di atas berhubungan atau tidak, tapi dengan kejadian
tersebut, kini aku mulai berusaha agar dapat memahami orang lain. Aku
berharap dengan berusaha memahami orang lain, dapat meningkatkan diri ke arah insan yang bisa mendahulukan kepentingan orang lain.

Seorang India dan Es

Dhara Gupta selama hidupnya tinggal di sebuah desa dekat Jaisalmer di gurun Rajastan. Suatu hari, di tahun 1822,  ketika ia sedang memasak makan malam, dia mendengar ada kegaduhan. Dia melihat  kegaduhan tersebut sampai ketika ia mengetahui bahwa sepupunya, Mahavir, baru saja kembali dari perjalanannya yang ia lakukan dua tahun yang lalu. Dia masih dalam keadaan yang sehat, dan setelah makan malam dia menceritakan semua hal di dalam perjalanannya kepada para penduduk.

Ada cerita tentan perampok, hewan-hewan liar, gunung-gunung yang besar nan gagah dan pemandangan-pemandangan serta petualangan-petualangan menakjubkan lainnya. Tetapi apa yang sungguh membuat Dhara tertegun adalah ketika Mahavir menceritakan tentang barang yang dinamakan “es”.

‘Saya pergi ke sebuah daerah yang sangat dingin, dimana air berhenti mengalir dan membentuk sebuah benda yang padat dan transparan’, kata Mahavir.” Apa yang lebih menakjubkan adalah di tempat itu tidak ada keadaan dimana cairan itu dibentuk menjadi padat. Air yang mengalir hanya sedikit lebih hangat dari yang telah dipadatkan”.

Dhara tidak mau menentang sepupunya di depan umum, tetapi dia tidak mempercayai Mahavir. Apa yang dia katakan bertentangan dengan pengalaman hidupnya. Dia tidak mempercayai hal-hal yang dikatakan para pengelana tentang naga yang menghembuskan api. Sekarang apakah bisa dia mempercayai omong kosong tentang es. Dia berpikir bahwa dirinya benar bila dia terlalu pandai dari cerita-cerita para pengelana tersebut, termasuk Mahavir.

Pembahasan
Bagaimana bisa Dhara merasa benar padahal sebenarnya pendapatnya benar-benar salah? Kita mengetahui bahwa cerita Mahavir tentang es bukanlah fantasi yang sama dengan cerita naga yang menghembuskan api, tetapi  sungguh-sungguh merupakan deskripsi yang akurat tentang apa yang terjadi pada air ketika mencapai kondisi titik beku air.

Pendapat Dhara benar dalam pengertian terkadang kita salah untuk alasan yang benar berdasarkan pengalamannya. Ambil contoh, skema  agar cepat kaya. Sebagian besar orang yang menggunakan email akan menerima pesan virtual setiap hari mempromosikan kekayaan yang besar dengan pengeluaran yang sedikit. Karena hampir semua pesan tersebut tanpa pengecualian adalah penipuan dan  memerlukan waktu yang tidak sedikit untuk mencari tahu identitas pelaku satu persatu, satu-satunya tindakan yang paling rasional yang dilakukan adalah mengabaikannya. Bagaimanapun, hal ini berarti bahwa suatu hari kamu akan mengabaikan kesempatan emas dan mengabaikan kekayaan yang besar. Bisa saja pesan email tersebut bukan penipuan, namun dalam pembahasan yang penting Anda masih memiliki alasan yang dibenarkan dalam kesimpulan yang Anda buat.

Poin yang sama juga berlaku untuk Dhara. Kita boleh tidak mempercayai semua hal yang dikatakan kepada kita bagaimana alam ini bekerja. Ketika orang-orang mengatakan kepada kita bahwa mereka bisa melayang, menghentikan jam dengan pikirannya atau menyembuhkan penyakit dengan kristal kita harus menjadi skeptis. Pengalama-pengalaman lama kita mengatakan bahwa kejadian-kejadian tersebut tidak terjadi dan semua bukti yang mereka kumpulkan terlalu sedikit untuk mendukung pendapat mereka atau bisa ditampilkan sebagai modus penipuan. Kita tidak perlu memikirkan  siapa-siapa yang mengklaim hal tersebut adalah seniman palsu. Mereka memang salah atau memposisikan dasar dari klaim mereka dengan alasan yang tidak tepat.

Masalahnya adalah terkadang bahwa kadang-kadang sesuatu yang benar-benar ada yang tidak kita ketahui, memaksa kita untuk memikirkan kembali apa yang kitai pikir sudah kita ketahui. Kita tidak mampu melepaskan begitu saja  sebuah pendapat seenaknya hanya karena pendapat tersebut tidak cocok dengan kepercayaan kita saat ini. Sebaliknya, kita perlu alasan yang sangat baik untuk menerima pendapat tersebut, karena filter yang tebal dari diri kita berdasarkan pengalaman hidup kita daripada hanya mendengar apa-apa yang diklaim oleh individu atau kelompok-kelompok kecil yang menentang kepercayaan kita.

Di sinilah masalah Dhara. Testimoni dari satu orang, walaupun itu adalah sepupunya, tidak cukup kuat untuk membongkar pandangan Dhara tentang dunia yang hanya ia ketahui, dimana cairan tidak bisa berubah menjadi padat di sebuah kondisi temperature yang ajaib. Namun ia harus mengakui bahwa dia tidak pernah menjumpai iklim yang dingin itu, dimana sepupunya pergi. Pengalamannya sendiri sangat terbatas, tetapi dia hanya mempunyai bukti dari kata-kata sepupunya tentang segala sesuatu di balik dunianya itu. Dengan menolak untuk mempercayainya, bukankah hal tersebut membuatnya batas  pengetahuannya menjadi sempit, atau bukankah hal yang disayangkan harga yang harus dibayarkan untuk tidak mudah menerima dan lebih banyak melakukan kesalahan dalam banyak situasi kemudian?

Sebuah Kisah yang Indah - Inspirasi

Jerry adalah seorang manager restoran di Amerika. Dia selalu dalam
semangat yang baik dan selalu punya hal positif untuk dikatakan.
Jika seseorang bertanya kepadanya tentang apa yang sedang dia kerjakan,
dia akan selalu menjawab, " Jika aku dapat yang lebih baik, aku lebih
suka menjadi orang kembar!"

Banyak pelayan di restorannya keluar jika Jerry pindah kerja,
sehingga mereka dapat tetap mengikutinya dari satu restoran ke restoran
yang lain.
Alasan mengapa para pelayan restoran tersebut keluar mengikuti Jerry
adalah karena sikapnya.

Jerry adalah seorang motivator alami. Jika karyawannya sedang
mengalami hari yang buruk, dia selalu ada di sana , memberitahu karyawan
tersebut bagaimana melihat sisi positif dari situasi yang tengah dialami.

Melihat gaya tersebut benar-benar membuat aku penasaran, jadi suatu
hari aku temui Jerry dan bertanya padanya, "Aku tidak mengerti! Tidak
mungkin seseorang menjadi orang yang berpikiran positif sepanjang waktu.

Bagaimana kamu dapat melakukannya? " Jerry menjawab, "Tiap pagi aku bangun
dan berkata pada diriku, aku punya dua pilihan hari ini. Aku dapat memilih
untuk ada di dalam suasana yang baik atau memilih dalam suasana yang
jelek. Aku selalu memilih dalam suasana yang baik. Tiap kali sesuatu
terjadi, aku dapat memilih untuk menjadi korban atau aku belajar dari
kejadian itu. Aku selalu memilih belajar dari hal itu. Setiap ada sesorang
menyampaikan keluhan, aku dapat memilih untuk menerima keluhan mereka atau
aku dapat mengambil sisi positifnya.. Aku selalu memilih sisi positifnya."

"Tetapi tidak selalu semudah itu," protesku. "Ya, memang begitu,"
kata Jerry, "Hidup adalah sebuah pilihan. Saat kamu membuang seluruh
masalah, setiap keadaan adalah sebuah pilihan. Kamu memilih bagaimana
bereaksi terhadap semua keadaan.
Kamu memilih bagaimana orang-orang disekelilingmu terpengaruh oleh
keadaanmu.
Kamu memilih untuk ada dalam keadaan yang baik atau buruk. Itu
adalah pilihanmu, bagaimana kamu hidup."

Beberapa tahun kemudian, aku dengar Jerry mengalami musibah yang tak
pernah terpikirkan terjadi dalam bisnis restoran: membiarkan pintu
belakang tidak terkunci pada suatu pagi dan dirampok oleh tiga orang
bersenjata.
Saat mencoba membuka brankas, tangannya gemetaran karena gugup dan salah
memutar nomor kombinasi. Para perampok panik dan menembaknya. Untungnya,
Jerry cepat ditemukan dan segera dibawa ke rumah sakit.

Setelah menjalani operasi selama 18 jam dan seminggu perawatan
intensif, Jerry dapat meninggalkan rumah sakit dengan beberapa bagian
peluru masih berada di dalam tubuhnya. Aku melihat Jerry enam bulan
setelah musibah tersebut.

Saat aku tanya Jerry bagaimana keadaannya, dia menjawab, "Jika aku
dapat yang lebih baik, aku lebih suka menjadi orang kembar. Mau melihat
bekas luka-lukaku? " Aku menunduk untuk melihat luka-lukanya, tetapi aku
masih juga bertanya apa yang dia pikirkan saat terjadinya perampokan.

"Hal pertama yang terlintas dalam pikiranku adalah bahwa aku harus
mengunci pintu belakang," jawab Jerry. "Kemudian setelah mereka
menembak dan aku tergeletak di lantai, aku ingat bahwa aku punya dua
pilihan: aku dapat memilih untuk hidup atau mati. Aku memilih untuk
hidup."

"Apakah kamu tidak takut?" tanyaku. Jerry melanjutkan, " Para ahli
medisnya hebat. Mereka terus berkata bahwa aku akan sembuh. Tapi
saat mereka mendorongku ke ruang gawat darurat dan melihat ekspresi wajah
para dokter dan suster aku jadi takut. Mata mereka berkata 'Orang ini akan
mati'. Aku tahu aku harus mengambil tindakan."

"Apa yang kamu lakukan?" tanya saya. "Disana ada suster gemuk yang
bertanya padaku," kata Jerry. "Dia bertanya apakah aku punya alergi.
'Ya' jawabku..

Para dokter dan suster berhenti bekerja dan mereka menunggu jawabanku.
Aku menarik nafas dalam-dalam dan berteriak, 'Peluru!' Ditengah tertawa
mereka aku katakan, ' Aku memilih untuk hidup. Tolong aku dioperasi
sebagai orang hidup, bukan orang mati'."

Jerry dapat hidup karena keahlian para dokter, tetapi juga karena
sikapnya hidupnya yang mengagumkan. Aku belajar dari dia bahwa tiap
hari kamu dapat memilih apakah kamu akan menikmati hidupmu atau
membencinya.

Satu hal yang benar-benar milikmu yang tidak bisa dikontrol oleh orang
lain adalah sikap hidupmu, sehingga jika kamu bisa mengendalikannya, segala hal dalam hidup akan jadi lebih mudah.

Putus Asa

Pada suatu ketika, iblis mengiklankan bahwa ia akan mengobral perkakas-perkakas kerjanya. Pada hari H, seluruh perkakasnya dipajang untuk dilihat oleh para calon pembeli, lengkap dengan harga jualnya. Seperti kalau kita masuk ke toko hardware, barang-barang yang dijual sungguh-sungguh menarik, dan semua barang kelihatan berguna sesuai dengan fungsinya masing-masing. Harganya pun tidak mahal.

Barang-barang yang dijual antara lain: dengki, iri, tidak jujur, tidak menghargai orang lain, malas, tak tahu terimakasih, dendam, dan lain sebagainya. Di suatu pojok display, ada satu perkakas yang bentuknya sederhana, sudah agak aus, tetapi harganya paling tinggi diantara yang lain.

Salah seorang calon pembeli bertanya, “Ini alat apa namanya?”. Iblis pun menjawab, “Oh, itu namanya putus asa”. “Kenapa harganya mahal sekali, kan sudah aus…?”. “Ya, karena perkakas ini sangat mudah dipakai dan berdaya guna tinggi. Saya bisa dengan mudah masuk kedalam hati manusia dengan alat ini disbanding yang lain. Begitu saya berhasil masuk, saya dengan sangat mudah melakukan apa saja yang saya inginkan terhadap manusia terebut. Tahukah anda kenapa barang ini menjadi aus?, Itu karena saya sering menggunakannya kepada hampir semua orang, karena kebanyakan manusia tidak tahu kalau Putus Asa itu sebenarnya milik saya”.

Bongkah-bongkah harapan

Dahulu kala, ada seorang pengusaha yang sangat terkenal di kota ini. Ketika sang suami jatuh sakit, satu-persatu pabrik mereka dijual. Harta mereka terkuras untuk berbagai biaya pengobatan. Hingga mereka harus berpindah ke pinggiran kota dan membuka rumah makan sederhana.

Sang suamipun telah tiada. Beberapa tahun kemudian, rumah makan itupun harus berganti rupa menjadi sebuah warung makan kecil disebelah pasar. Setelah lama tak terdengar kabarnya, kini setiap malam tampak sang istri dibantu oleh anak dan menantunya menggelar tikar berjualan lesehan di alun-alun kota. Cucunya sudah beberapa. Orang-orang pun masih mengenal masa lalunya yang berkelimpahan. Namun ia tak kehilangan senyumnya yang tegar saat melayani para pembeli.

Wahai ibu, bagaimana engkau sedemikian kuat? “Harapan, nak. Jangan pernah kehilangan harapan. Bukankah seorang guru dunia pernah berujar, karena harapanlah seorang ibu menyusui anaknya. Karena harapanlah kita menanam pohon meski kita tahu tak akan sempat memetiknya buahnya yang ranum setelah bertahun-tahun kemudian.”

“Nak, sekali engkau kehilangan harapan, kau akan kehilangan seluruh kekuatanmu menghadapi dunia.”

Masalah setitik noda

Saya selalu berada dalam tekanan selama beberapa tahun terakhir hingga beberapa bulan yang lalu. Saya dulu berpikir kalau hidup saya ini datar-datar saja. Tidak ada sesuatu yang spesial ataupun sesuatu yang pantas untuk dibanggakan. Malah banyak hal yang saya sesali: hidup saya, pekerjaan saya, istri saya, kemampuan saya, dan juga tubuh saya. Semua hal yang saya miliki tidak memuaskan diriku, saya selalu berpikirbahwa ada sesuatu yang kurang dalam diri saya. Semakin saya mencoba untuk mengubah situasi ini, semakin besar kekecewaan yang saya dapatkan. Hanya ketika saya tidur saya bisa merasa bahagia.

Saya tidak tahu dari mana dan bagaimana untuk memulai hingga seorang teman saya memberikan saran yang sungguh luar biasa dan berkesan yang mengubah pandangan saya. Ini adalah cara bagaimana dia memberikan saran tersebut ; setelah mendengarkan secara seksama isi hati dan keluh kesahku, dia menunjukkan selembar kertas putih dan menunjukkannya kepadaku seraya berkata,” apa yang kamu lihat?” , “selembar kertas putih”, jawabku. Kemudian, ia mengambil sebuah spidol hitam dan menggambar lingkaran hitam di tengah-tengah kertas
.
Dia bertanya kembali,”apa yang kamu lihat?”
“aku melihat setitik noda”

“sekarang aku mengerti akar permasalahanmu,” katanya seraya menatapku,”seperti yang kamu lihat, perhatianmu  hanya ada pada noda hitam di tengah kertas ini, sementara masih banyak bagian putih di sekitarnya. Kamu harus memahami bahwasegala sesuatu tergantung dari segi yang mana kamu memandangnya. Jika kamu memandangnya hidupmu dari sisi yang kelam, maka hal tersebut akan selalu membawamu kepada kekecewaan, kekurangan dan ketidakpuasan. Lihatlah sekelilingmu. Masih banyak bagian-bagian yang putih dalam hidupmu yang seharusnya kamu syukuri. Kamu bisa melihat, mendengar, berjalan, membaca, kesehatan yang bagus, anak-anak yang lucu, istri yang setia yang memberimu banyak dibalik kekurangan dalam dirinya. Apakah kamu tahu berapa banyak laki-laki yang kehilangan istrinya? Kamu memiliki pekerjaan yang bagus sementara banyak orang tidak punya dan lebih miskin darimu. Kamu punya uang, tabungan, asuransi dan teman-teman yang baik yang mendukungmu. Fokuskan ke sisi baik dari segala bidang bukan di kelemahan ataupun kesalahannya.

Jangan salahkan yang lain untuk penderitaanmu, lihat aspek positif dari hidup. Jangan menyiksa hidupmu sendiri. Fokuskan kepada kebahagiaan yang bisa kamu dapatkan. Jika kamu hanya melihat pada noda hitam itu dan bukan pada bagian yang putih, kamu akan tetap seperti ini, tersiksa selama hidupmu. Apakah kamu mengerti sekarang?”

Setelah menyelesaikan penjelasan panjang, temanku langsung pergi dalam sekejap.
“ya, saya mengerti”, saya berbisik. Saya meraih kertas tersebut, membingkainya dan menggantungnya di dinding rumahku. Bukan untuk menjadi pemujaan, tetapi untuk menjadi pengingta untukku agar tidak lupa pelajaran yang kudapatkan darinya. Begitu banyak bagian-bagian putih di dalam hidupku yang  kuabaikan sebelumnya. Sejak saat itu, saya memulai untuk mencintai dan menghargai kehidupanku.

Segi moral cerita:

Bersyukurlah ketika anda menghadapi kesulitan yang bisa berubah menjadi sebuah berkah. Bersyukurlah bila anda mampu merubah sisi negatif menjadi positif. Kita mungkin tidak akan mendapatkan apa yang kita suka jadi itulah mengapa kita mencoba untuk menyukai apa yang datang kepada kita.

Lukisan Picasso di pantai (Picasso adalah pelukis terkenal di dunia)

Roy melihat ke bawah dari atas tebing memperhatikan seseorang yang melukis di atas pasir. Lukisan yang hampir selesai itu mengagetkannya. Itu bukan lukisan wajah biasa, tidak realistis memang, tetapi dari beberapa pandangan yang disatukan. Lukisan tersebut mirip dengan lukisan Picasso.

Dalam sekejap ketika pemikiran tersebut masuk dalam pikirannya, jantungnya terasa berhenti. Ia mengangkat teropongnya dan ia pun mulai melihatnya. Orang di atas pantai itu adalah Picasso.
Denyut nadi Roy segera berpacu cepat. Dia berjalan menyusuri rute itu setiap hari, dan dia tahu bahwa dalam waktu dekat gelombang ombak akan menyapu bersih lukisan original Picasso tersebut. Dalam keinginannya, ia ingin mencoba untuk menyelamatkan lukisan tersebut. Tapi bagaimana?

Mencoba untuk menghadang laut adalah tindakan yang mustahil. Juga termasuk mustahil untuk melindungi pasir tersebut walaupun dia mempunyai sedikit waktu untuk melakukannya. Bisa saja dia akan berlari cepat menuju rumah untuk mengambil kameranya. Tetapi hal tersebut hanya akan menjadi bukti rekaman dari suatu karya, bukan karya itu sendiri. Dan jika dia melakukan ini, pada ketika ia kembali, lukisan tersebut bisa saja akan tergerus oleh lautan. Bisa saja dia lebih baik menikmati pemandangan ini sepanjang karya tersebut bertahan. Dan diapun berdiri memandang, tak tahu harus tersenyum atau sedih.

Pembahasan:
Tak ada prinsip mendasar di suatu keadaan bahwa terjadi sesuatu yang tragis pada suatu bentuk karya seni yang tidak dapat bertahan sepanjang masa. Hal tersebut tergantung seluruhnya pada bentuk seperti apa karya seni itu dibuat. Terasa aneh memikirkan sebuah performa yang mempunyai eksistensi permanent sebagaimana seni pahat. Tentu saja, kita dapat merekam sebuah performa dalam film atau menyimpan skrip naskah. Tetapi tak ada satupun dari metode-metode ini yang bisa bekerja sepanjang waktu, sebagaimana seseorang mengingat pertunjukkan piano atau konser dan melihat lagi dengan memutarnya dalam film kembali.

Ketika bersangkutan dengan seni pahat dan seni lukis, preservasi terlihat sebagai ideal. Tetapi bagaimana mengukur perbedaan antara pertunjukkan dan seni plastik? Sketsa pasir imajinasi Picasso dengan pasti mengaburkan jarak  perbedaan tersebut. Pemilihan barang yang tidak biasa berarti menjadikan sesuatu yang bertahan lama menjadi sebuah pertunjukkan yang berjalan.

Mengetahui bahwa tidak ada jarak perbedaan antara seni pertunjukkan dan seni plastik mungkin akan mengingatkan perhatian kita kepada preservasi dan perbaikan. Secara umum, kita diharapkan untuk menyimpan,atau memperbaiki, lukisan-lukisan tersebut sehingga mereka terlihat mirip sebagaimana saat lukisan tersebut masih baru. Tetapi mungkin kita harus melihat rusaknya sebuah karya seni secara perlahan-lahan sebagai esensi dari dimensi pertunjukkan mereka.
Pendapat ini disetujui oleh para seniman tentang bagaimana karya mereka akan menjadi tua ketika mereka membuat karya-karya tersebut. Frank Gehry, contohnya, mengetahui bagaimana sebuah pencahayaan dari elemen-elemen bisa mempengaruhi eksterior yang terbuat dari bahan titanium dari karya arsitektur fenomenalnya, museum Guggenheim di Bilbao. Dan tentu saja, seniman tua itu tidak akan tidak memperdulikan tentang bagaimana pigmen-pigmen warna dari karya tersebut akan menua.

Mungkin kita bisa pergi ke depan dan mengatakan tentang hasrat kita untuk mempersiapkan bentuk dari penolakan tentang mortalitas diri kita. Faktanya adalah karya seni bisa bertahan lebih lama daripada orang-orang menyebabkan sebagian dari kita mencari bentuk utama dari kekekalan di dalamnya.(Walaupun Woody Allen terkenal dengan klaimnya bahwa dia tidak menginginkan kekekalan dari karya seni, tetapi dari menghindari kematian) Jika kita menerima bahwa karya seni juga sesuatu yang tidak abadi, dan tidak ada sesuatu yang abadi, mungkin kita bisa melihat dengan jelas dimana ‘nilai’ dari seni dan hidup ditemukan; dengan mengalaminya.